Saturday 18 April 2015

Perilaku Abnormal dalam Perspektif Psikologis

Pada saat yang hampir bersamaan dimana model biologis tentang perilaku abnormal mulai mencapai
kejelasan dengan kontribusi dari Kraepelin, Griesinger, dll, pendekatan lain untuk memahami dasar-dasar dari perilaku abnormal mulai muncul. Pendekatan ini menekankan akar psikologis dari perilaku abnormal dan paling erat diidentifikasi dengan hasil kerja dokter dari Austria, Sigmund Freud. Seiring waktu, model psikologis lainnya bermunculan dari pendekatan teoritikus perilaku (behavioristik), humanistik, dan kognitif. Mari kita bahas satu-satu. Cussss,,,hehehe

Model-model Psikodinamika
Teori psikodinamika didasarkan pada kontribusi Sigmund Freud dan para pengikutnya. Model psikodinamika yang dikemukakan Sigmund Freud, disebut teori Psikoanalisis, didasarkan pada keyakinan bahwa masalah-masalah psikologis seperti histeria adalah akibat dari konflik psikologis di luar alam sadar yang dapat dilacak pada masa kecil. Freud meyakini bahwa banyak dari perilaku kita yang didorong oleh motif-motif di luar alam sadar kita dan konflik-konflik yang tidak kita sadari. Konflik-konflik tersebut didasari oleh hal-hal diseputar insting-insting atau dorongan-dorongan seksual dan agresif yang primitif serta kebutuhan untuk mempertahankan impuls-impuls primitif tersebut diluar kesadaran langsung kita. Mengapa? Karena kesadaran akan impuls-impuls primitif tersebut, termasuk keinginan untuk membunuh dan impuls-impuls insens akan membanjiri alam sadar dari diri dengan kecemasan yang melemahkan. Dalam pandangan Freud, pola perilaku abnormal seperti histeria mencerminkan “simptom-simptom” dari perlawanan dinamis yang terjadi dalam pikiran. Pada kasus histeria, “simptom” mencerminkan konversi dari konflik-konflik psikologis diluar alam sadar ke masalah fisik.
Selain Freud, salah satu dari teoritikus psikodinamika masa awal yang paling penting adalah Carl Jung (1857-1961), seorang psikiater Swiss yang sebelumnya merupakan seorang anggota dalam lingkungan terdekat Freud. Perpisahannya dengan Freud terjadi ketika ia mengembangkan teori psikodinamiknya sendiri, yang disebutnya sebagai psikologi analitis. Sebagaimana Freud, Jung meyakini bahwa proses-proses tidak sadar sangatlah penting dalam menjelaskan tentang perilaku. Jung meyakini bahwa pemahaman tentang perilaku manusia harus menggabungkan antara fakta-fakta tentang self-awareness dan self-direction sebagaimana impuls-impuls id dan mekanisme defensif. Ia meyakini bahwa bukan saja kita memiliki ketidaksadaran pribadi, tempat penyimpanan dari memori dan impuls yang direpresi, namun kita juga mewarisi ketidaksadaran kolektif. Bagi Jung, ketidaksadaran kolektif mewakili akumulasi pengalaman dari umat manusia, yang diyakininya diturunkan secara genetis pada berbagai generasi. Ketidaksadaran kolektif diyakini mengandung gambaran-gambaran primitif, atau arketipe, yang mencerminkan sejarah dari spesies kita, termasuk gambaran-gambaran mistis yang tidak jelas dan misterius seperti Tuhan yang memiliki segala kekuatan, ibu yang mengandung dan mengasuh, pahlawan muda, laki-laki tua yang bijaksana, tema-tema tentang kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Meskipun arketipe-arketipe tetap tidak disadari, dalam pandangan Jung, arketipe-arketipe tersebut mempengaruhi pikiran-pikiran, mimpi-mimpi dan emosi kita dan membuat kita menjadi responsif terhadap tema-tema kultural dalam cerita-cerita dan film-film. Teoritikus lainya seperti Adler menekankan kebutuhan untuk mengembangkan self yang terdiferensiasi – kesatuan kekuatan yang memberikan arah terhadap perilaku dan membantu mengembangkan potensi seseorang. Adler juga meyakini bahwa kesehatan psikologis melibatkan usaha-usaha untuk mengkompensasi perasaan inferioritas dengan berjuang menguasai satu atau beberapa arena dalam usaha manusia. Bagi Mahler, secara serupa, perilaku abnormal berasal dari kegagalan untuk memisahkan self dari orang-orang yang telah kita bawa secara psikologis dalam self kita. Perhatian pada self yang terarah memberikan jembatan antara teori psikodinamika dengan teori-teori lainnya, seperti teori-teori humanistik (yang juga berbicara tentang self dan pemenuhan potensi self) dan teori sosial kognitif (yang berbicara mengenai self-regulatory).

Model-model Belajar
Model psikodinamik dari Freud dan pengikutnya memang adalah teori pertama mengenai perilaku abnormal, namun teori psikologis lain yang relevan juga terbentuk di awal abad 20. Di antara yang paling penting terdapat perspektif biologis, yang dikenali dengan kontribusi dari psikolog rusia Ivan Paplov (1849-1936), penemu dari refleks yang dikondisikan, dan psikolog Amerika John B. Watson (1878-1958), bapak behaviorisme. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan perilaku normal maupun abnormal. Dari perspektif belajar, perilaku abnormal mencerminkan perolehan, atau pembelajaran, dari perilaku yang tidak sesuai dan tidak adaptif.
Dari perspektif medis dan psikodinamik, perilaku abnormal merupakan simtomatik, dalam hal ini, dari masalah-masalah biologis atau psikologis yang mendasar. Namun, dari pandangan belajar, perilaku abnormal bukanlah simtomatik dari apa pun. Perilaku abnormal itu sendiri merupakan masalah. Perilaku abnormal dianggap sebagai sesuatu yang dipelajari dengan cara yang sama sebagaimana perilaku normal. Mengapa, kemudian beberapa orang berperilaku abnormal? Satu alasan ditemukan pada faktor situasional: riwayat belajar mereka, yang mungkin berbeda dari kebanyakan orang. Sebagai contoh, hukuman yang keras untuk mencoba suatu perilaku lebih awal, seperti eksplorasi seksual pada masa kanak-kanak dalam bentuk masturbasi, mungkin menimbulkan kecemasan di masa dewasa berkaitan dengan otonomi atau seksualitas. Pengasuhan anak yang buruk, seperti kurangnya penghargaan atau rewards untuk perilaku yang baik dan hukuman yang keras dan tidak terduga untuk kesalahan perilaku, mungkin menimbulkan perilaku anti sosial. Kemudian juga, anak-anak dengan orang tua yang menyiksa atau menolak mereka mungkin belajar untuk lebih memperhatikan fantasi-fantasi dalam diri dari pada dunia luar, dan yang terburuk menimbulkan kesulitan dalam membedakan realitas dan fantasi.
Watson dan teoritikus behavioristik lainnya, seperti psikolog dari Universitas Harvard, B. F. Skinner (1904-1990), meyakini bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis atau pengaruh lingkungan atau situasional. Sebagaimana Freud, Watson dan Skinner tidak menggunakan konsep-konsep seperti kebebasan pribadi, pilihan dan self-direction. Namun jika Freud melihat bahwa kita dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional, teoritikus behavioristik melihat kita sebagai hasil pengaruh pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi perilaku kita. Bagi Watson dan Skinner, bahkan keyakinan bahwa kita memiliki kehendak yang bebas ditentukan oleh lingkungan. Para teoritikus behavioristik berfokus pada peran dari dua bentuk utama dari belajar dalam membentuk perilaku normal dan abnormal yaitu, Classical Conditioning dan Operant Conditioning.
Teori Kognitif Sosial
Teori sosial kognitif menampilkan kontribusi para teoritikus seperti Albert Bandura, Julian B. Rotter dan Walter Michel. Teori sosial-kognitif menekankan peran-peran dari proses berfikir atau kognisi dan belajar melalui pengamatan, atau modeling dalam perilaku manusia. Sebagai contoh, teoritikus sosial-kognitif menduga fobia mungkin dipelajari secara tidak langsung, saat seseorang mengamati reaksi takut berlebihan yang dialami orang lain pada kehidupan nyata, dari televisi atau film.
Teoritikus sosial kognitif memandang bahwa manusia memberi pengaruh pada lingkungannya, sebagaimana lingkungan memberi pengaruh pada mereka. Mereka memandang manusia sebagai orang yang memiliki self-awareness dan secara terarah mencari informasi tentang lingkungan mereka, dengan kata lain, manusia tidak sekedar berespon secara otomatis terhadap stimulus yang ditampilkan pada mereka. Teoritikus sosial-kognitif sependapat dengan teoritikus behavioristik tradisional bahwa teori-teori tentang sifat dasar manusia seharusnya dikaitkan dengan perilaku yang teramati. Namun, mereka menyatakan bahwa faktor-faktor dalam diri seseorang seharusnya juga diperhitungkan dalam menjelaskan perilaku manusia. Rotter (1990) misalnya, menyatakan bahwa perilaku tidak dapat diprediksi dari faktor-faktor situasional belaka. Apakah seseorang akan berperilaku dengan cara tertentu atau tidak juga tergantung pada faktor-faktor kognitif tertentu, seperti harapan orang tersebut terhadap hasil dari perilaku.

Model-Model Humanistik
Suatu “kekuatan ketiga” dalam psikologi modern muncul pada pertengahan abad ke – 20 yaitu psikologi humanistik. Para teoritikus humanistik seperti psikolog Amerika Carl Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow (1908-1970) meyakini bahwa perilaku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun conditioning yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap pendapat bahwa perilaku semata ditentukan oleh faktor diluar dirinya, para teoritikus tersebut melihat seseorang sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Mereka berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subyektif dan self-direction. Psikologi humanistik berhubungan erat dengan aliran filosofis Eropa yang disebut sebagai Eksitensialisme. Para eksitensialis, antara lain filsuf Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean Paul Sartre (1905-1980), berfokus pada pencarian arti dan pentingnya pilihan pada eksistensi manusia. Para eksistensialis meyakini bahwa kemanusian kita membuat kita bertanggung jawab atas arah yang akan diambil dalam kehidupan kita.
Para humanis mempertahankan bahwa orang memiliki kecenderungan bawaan untuk melakukan self-actualization untuk berjuang menjadi apa yang mereka mampu. Setiap orang memiliki serangkaian perangai dan bakat-bakat yang mendasari perasaan dan kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dalam hidup kita. Meskipun pada akhirnya setiap manusia akan mati, namun masing-masing dapat mengisi kehidupan dengan penuh arti dan tujuan apabila kita mengenai dan menerima kebutuhan dan perasaan terdalam kita. Dengan jujur pada diri kita sendiri, kita hidup secara autentik. Kita mungkin tidak sekonyong-konyong melakukan keinginan dan fantasi keinginan, namun kesadaran diri tentang perasaan-perasaan yang autentik dan pengalaman subyektif dapat membantu kita untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih bermakna.
Untuk memahami perilaku abnormal dalam pandangan humanistik, kita perlu mengetahui pernghambat yang dihadapi orang dalam berjuang mencapai self-actualization dan keauntentikan. Untuk mencapai hal ini, psikolog harus belajar memandang dunia dari perspektif klien karena pandangan subjektif klien tentang dunianya sendiri membuat mereka menginterpretasi dan mengevaluasi pengalaman mereka, baik dengan cara yang bersifat self-enhancing atau self-defeating. Pandangan humanistik ini terkadang disebut juga perspektif fenomenologis karena melibatkan usaha untuk memahami pengalaman subjektif atau fenomenologis dari orang lain, aliran pengalaman sadar yang dmiliki orang tentang ”berada di dunia”.

Model-model Kognitif
Kata kognitif berasal dari bahasa latin cognitio, yang berati “pengetahuan”. Para teoritikus kognitif mempelajari kognisis – pikiran-pikiran, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan, dan sikap-sikap yang menyertai dan mungkin mendasari perilaku abnormal. Mereka berfokus pada bagaimana realitas diwarnai oleh harapan-harapan dan sikap kita, dan seterusnya, dan bagaimana tidak akurat atau biasnya pemrosesan informasi tentang dunia dapat menimbulkan perilaku abnormal. Para teoritikus kognitif meyakini bahwa interpretasi kita terhadap peristiwa dalam kehidupan kita, dan bukan peristiwa itu sendiri, menentukan keadaan emosional kita. Beberapa model kognitif yang paling menonjol dari pola-pola perilaku abnormal adalah pendekatan pemrosesan informasi dan model-model yang dikembangkan oleh psikolog Albert Ellis dan Psikiater Aaron Beck.

Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | free website templates | Free Vector Graphics | Web Design Resources.