Pada saat yang hampir bersamaan
dimana model biologis tentang perilaku abnormal mulai mencapai
kejelasan dengan kontribusi dari Kraepelin, Griesinger, dll, pendekatan lain untuk memahami dasar-dasar dari perilaku abnormal mulai muncul. Pendekatan ini menekankan akar psikologis dari perilaku abnormal dan paling erat diidentifikasi dengan hasil kerja dokter dari Austria, Sigmund Freud. Seiring waktu, model psikologis lainnya bermunculan dari pendekatan teoritikus perilaku (behavioristik), humanistik, dan kognitif. Mari kita bahas satu-satu. Cussss,,,hehehe
kejelasan dengan kontribusi dari Kraepelin, Griesinger, dll, pendekatan lain untuk memahami dasar-dasar dari perilaku abnormal mulai muncul. Pendekatan ini menekankan akar psikologis dari perilaku abnormal dan paling erat diidentifikasi dengan hasil kerja dokter dari Austria, Sigmund Freud. Seiring waktu, model psikologis lainnya bermunculan dari pendekatan teoritikus perilaku (behavioristik), humanistik, dan kognitif. Mari kita bahas satu-satu. Cussss,,,hehehe
Model-model Psikodinamika
Teori psikodinamika didasarkan pada
kontribusi Sigmund Freud dan para pengikutnya. Model psikodinamika yang
dikemukakan Sigmund Freud, disebut teori Psikoanalisis, didasarkan pada
keyakinan bahwa masalah-masalah psikologis seperti histeria adalah akibat dari
konflik psikologis di luar alam sadar yang dapat dilacak pada masa kecil. Freud
meyakini bahwa banyak dari perilaku kita yang didorong oleh motif-motif di luar
alam sadar kita dan konflik-konflik yang tidak kita sadari. Konflik-konflik
tersebut didasari oleh hal-hal diseputar insting-insting atau dorongan-dorongan
seksual dan agresif yang primitif serta kebutuhan untuk mempertahankan
impuls-impuls primitif tersebut diluar kesadaran langsung kita. Mengapa? Karena
kesadaran akan impuls-impuls primitif tersebut, termasuk keinginan untuk
membunuh dan impuls-impuls insens akan membanjiri alam sadar dari diri dengan
kecemasan yang melemahkan. Dalam pandangan Freud, pola perilaku abnormal
seperti histeria mencerminkan “simptom-simptom” dari perlawanan dinamis yang
terjadi dalam pikiran. Pada kasus histeria, “simptom” mencerminkan konversi
dari konflik-konflik psikologis diluar alam sadar ke masalah fisik.
Selain Freud, salah satu dari
teoritikus psikodinamika masa awal yang paling penting adalah Carl Jung
(1857-1961), seorang psikiater Swiss yang sebelumnya merupakan seorang anggota
dalam lingkungan terdekat Freud. Perpisahannya dengan Freud terjadi ketika ia
mengembangkan teori psikodinamiknya sendiri, yang disebutnya sebagai psikologi analitis. Sebagaimana Freud,
Jung meyakini bahwa proses-proses tidak sadar sangatlah penting dalam
menjelaskan tentang perilaku. Jung meyakini bahwa pemahaman tentang perilaku
manusia harus menggabungkan antara fakta-fakta tentang self-awareness dan self-direction
sebagaimana impuls-impuls id dan mekanisme defensif. Ia meyakini bahwa bukan
saja kita memiliki ketidaksadaran pribadi, tempat penyimpanan dari memori dan
impuls yang direpresi, namun kita juga mewarisi ketidaksadaran kolektif. Bagi Jung, ketidaksadaran kolektif
mewakili akumulasi pengalaman dari umat manusia, yang diyakininya diturunkan
secara genetis pada berbagai generasi. Ketidaksadaran kolektif diyakini
mengandung gambaran-gambaran primitif, atau arketipe, yang mencerminkan sejarah
dari spesies kita, termasuk gambaran-gambaran mistis yang tidak jelas dan
misterius seperti Tuhan yang memiliki segala kekuatan, ibu yang mengandung dan
mengasuh, pahlawan muda, laki-laki tua yang bijaksana, tema-tema tentang
kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Meskipun arketipe-arketipe tetap
tidak disadari, dalam pandangan Jung, arketipe-arketipe tersebut mempengaruhi
pikiran-pikiran, mimpi-mimpi dan emosi kita dan membuat kita menjadi responsif
terhadap tema-tema kultural dalam cerita-cerita dan film-film. Teoritikus
lainya seperti Adler menekankan kebutuhan untuk mengembangkan self yang terdiferensiasi – kesatuan
kekuatan yang memberikan arah terhadap perilaku dan membantu mengembangkan
potensi seseorang. Adler juga meyakini bahwa kesehatan psikologis melibatkan
usaha-usaha untuk mengkompensasi perasaan inferioritas dengan berjuang
menguasai satu atau beberapa arena dalam usaha manusia. Bagi Mahler, secara serupa,
perilaku abnormal berasal dari kegagalan untuk memisahkan self dari orang-orang yang telah kita bawa secara psikologis dalam self kita. Perhatian pada self yang terarah memberikan jembatan
antara teori psikodinamika dengan teori-teori lainnya, seperti teori-teori
humanistik (yang juga berbicara tentang self
dan pemenuhan potensi self) dan teori
sosial kognitif (yang berbicara mengenai self-regulatory).
Model-model Belajar
Model psikodinamik dari Freud dan
pengikutnya memang adalah teori pertama mengenai perilaku abnormal, namun teori
psikologis lain yang relevan juga terbentuk di awal abad 20. Di antara yang
paling penting terdapat perspektif biologis, yang dikenali dengan kontribusi
dari psikolog rusia Ivan Paplov (1849-1936), penemu dari refleks yang
dikondisikan, dan psikolog Amerika John B. Watson (1878-1958), bapak
behaviorisme. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam
menjelaskan perilaku normal maupun abnormal. Dari perspektif belajar, perilaku
abnormal mencerminkan perolehan, atau pembelajaran, dari perilaku yang tidak
sesuai dan tidak adaptif.
Dari perspektif medis dan
psikodinamik, perilaku abnormal merupakan simtomatik, dalam hal ini, dari
masalah-masalah biologis atau psikologis yang mendasar. Namun, dari pandangan
belajar, perilaku abnormal bukanlah simtomatik dari apa pun. Perilaku abnormal
itu sendiri merupakan masalah. Perilaku abnormal dianggap sebagai sesuatu yang
dipelajari dengan cara yang sama sebagaimana perilaku normal. Mengapa, kemudian
beberapa orang berperilaku abnormal? Satu alasan ditemukan pada faktor
situasional: riwayat belajar mereka, yang mungkin berbeda dari kebanyakan
orang. Sebagai contoh, hukuman yang keras untuk mencoba suatu perilaku lebih
awal, seperti eksplorasi seksual pada masa kanak-kanak dalam bentuk masturbasi,
mungkin menimbulkan kecemasan di masa dewasa berkaitan dengan otonomi atau
seksualitas. Pengasuhan anak yang buruk, seperti kurangnya penghargaan atau rewards untuk perilaku yang baik dan
hukuman yang keras dan tidak terduga untuk kesalahan perilaku, mungkin
menimbulkan perilaku anti sosial. Kemudian juga, anak-anak dengan orang tua
yang menyiksa atau menolak mereka mungkin belajar untuk lebih memperhatikan
fantasi-fantasi dalam diri dari pada dunia luar, dan yang terburuk menimbulkan
kesulitan dalam membedakan realitas dan fantasi.
Watson dan teoritikus behavioristik
lainnya, seperti psikolog dari Universitas Harvard, B. F. Skinner (1904-1990),
meyakini bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis atau
pengaruh lingkungan atau situasional. Sebagaimana Freud, Watson dan Skinner
tidak menggunakan konsep-konsep seperti kebebasan pribadi, pilihan dan self-direction. Namun jika Freud melihat
bahwa kita dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional, teoritikus
behavioristik melihat kita sebagai hasil pengaruh pengaruh lingkungan yang
membentuk dan memanipulasi perilaku kita. Bagi Watson dan Skinner, bahkan
keyakinan bahwa kita memiliki kehendak yang bebas ditentukan oleh lingkungan.
Para teoritikus behavioristik berfokus pada peran dari dua bentuk utama dari
belajar dalam membentuk perilaku normal dan abnormal yaitu, Classical
Conditioning dan Operant Conditioning.
Teori Kognitif Sosial
Teori sosial kognitif menampilkan
kontribusi para teoritikus seperti Albert Bandura, Julian B. Rotter dan Walter
Michel. Teori sosial-kognitif menekankan peran-peran dari proses berfikir atau
kognisi dan belajar melalui pengamatan, atau modeling dalam perilaku manusia. Sebagai contoh, teoritikus
sosial-kognitif menduga fobia mungkin dipelajari secara tidak langsung, saat
seseorang mengamati reaksi takut berlebihan yang dialami orang lain pada
kehidupan nyata, dari televisi atau film.
Teoritikus sosial kognitif
memandang bahwa manusia memberi pengaruh pada lingkungannya, sebagaimana
lingkungan memberi pengaruh pada mereka. Mereka memandang manusia sebagai orang
yang memiliki self-awareness dan
secara terarah mencari informasi tentang lingkungan mereka, dengan kata lain,
manusia tidak sekedar berespon secara otomatis terhadap stimulus yang
ditampilkan pada mereka. Teoritikus sosial-kognitif sependapat dengan
teoritikus behavioristik tradisional bahwa teori-teori tentang sifat dasar
manusia seharusnya dikaitkan dengan perilaku yang teramati. Namun, mereka
menyatakan bahwa faktor-faktor dalam diri seseorang seharusnya juga
diperhitungkan dalam menjelaskan perilaku manusia. Rotter (1990) misalnya,
menyatakan bahwa perilaku tidak dapat diprediksi dari faktor-faktor situasional
belaka. Apakah seseorang akan berperilaku dengan cara tertentu atau tidak juga
tergantung pada faktor-faktor kognitif tertentu, seperti harapan orang tersebut terhadap hasil dari perilaku.
Model-Model Humanistik
Suatu “kekuatan ketiga” dalam
psikologi modern muncul pada pertengahan abad ke – 20 yaitu psikologi
humanistik. Para teoritikus humanistik seperti psikolog Amerika Carl Rogers
(1902-1987) dan Abraham Maslow (1908-1970) meyakini bahwa perilaku manusia
tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari
maupun conditioning yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap
pendapat bahwa perilaku semata ditentukan oleh faktor diluar dirinya, para
teoritikus tersebut melihat seseorang sebagai aktor dalam drama kehidupan,
bukan reaktor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Mereka berfokus pada
pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subyektif dan self-direction. Psikologi humanistik berhubungan erat dengan aliran
filosofis Eropa yang disebut sebagai Eksitensialisme. Para eksitensialis,
antara lain filsuf Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean Paul Sartre
(1905-1980), berfokus pada pencarian arti dan pentingnya pilihan pada
eksistensi manusia. Para eksistensialis meyakini bahwa kemanusian kita membuat
kita bertanggung jawab atas arah yang akan diambil dalam kehidupan kita.
Para humanis mempertahankan bahwa
orang memiliki kecenderungan bawaan untuk melakukan self-actualization untuk berjuang menjadi apa yang mereka mampu. Setiap
orang memiliki serangkaian perangai dan bakat-bakat yang mendasari perasaan dan
kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dalam hidup kita. Meskipun
pada akhirnya setiap manusia akan mati, namun masing-masing dapat mengisi
kehidupan dengan penuh arti dan tujuan apabila kita mengenai dan menerima
kebutuhan dan perasaan terdalam kita. Dengan jujur pada diri kita sendiri, kita
hidup secara autentik. Kita mungkin tidak sekonyong-konyong melakukan keinginan
dan fantasi keinginan, namun kesadaran diri tentang perasaan-perasaan yang
autentik dan pengalaman subyektif dapat membantu kita untuk membuat
pilihan-pilihan yang lebih bermakna.
Untuk memahami perilaku abnormal
dalam pandangan humanistik, kita perlu mengetahui pernghambat yang dihadapi
orang dalam berjuang mencapai self-actualization
dan keauntentikan. Untuk mencapai hal ini, psikolog harus belajar memandang
dunia dari perspektif klien karena pandangan subjektif klien tentang dunianya
sendiri membuat mereka menginterpretasi dan mengevaluasi pengalaman mereka,
baik dengan cara yang bersifat self-enhancing
atau self-defeating. Pandangan
humanistik ini terkadang disebut juga perspektif fenomenologis karena melibatkan usaha untuk memahami pengalaman
subjektif atau fenomenologis dari orang lain, aliran pengalaman sadar yang
dmiliki orang tentang ”berada di dunia”.
Model-model Kognitif
Kata kognitif berasal dari bahasa latin cognitio, yang berati “pengetahuan”. Para teoritikus kognitif
mempelajari kognisis – pikiran-pikiran, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan,
dan sikap-sikap yang menyertai dan mungkin mendasari perilaku abnormal. Mereka berfokus
pada bagaimana realitas diwarnai oleh harapan-harapan dan sikap kita, dan
seterusnya, dan bagaimana tidak akurat atau biasnya pemrosesan informasi
tentang dunia dapat menimbulkan perilaku abnormal. Para teoritikus kognitif
meyakini bahwa interpretasi kita terhadap peristiwa dalam kehidupan kita, dan
bukan peristiwa itu sendiri, menentukan keadaan emosional kita. Beberapa model
kognitif yang paling menonjol dari pola-pola perilaku abnormal adalah
pendekatan pemrosesan informasi dan model-model yang dikembangkan oleh psikolog
Albert Ellis dan Psikiater Aaron Beck.
0 comments:
Post a Comment